Sedikit Cerita di Sisi Lain Bromo
pernah tercatat : 24 November 2009
Selasa pagi di pelataran ruang tunggu Bandara Internasional Ngurah Rai Bali. Ruangan terasa penuh, padat. Ada jadwal keberangkatan ke beberapa destinasi yang masih delayed. Memang susah membenahi sistem penerbangan di negara tercinta kita ini. Selalu ada masalah disetiap tahunnya. Mulai dari penundaan keberangkatan, tergelincir sampai hilangnya pesawat penumpang di perairan Sulawesi beberapa tahun yang lalu.
Pesawat ditunda 1 jam. Para penumpang terlihat gelisah, tapi mereka memiliki cara masing-masing untuk mengusir gundahnya. Ada yang membaca buku, melihat-lihat di toko cindera mata, sampai tertidur pulas di bangku tunggu. Sementara aku masih saja duduk disini, di dalam ruangan berasap ”smoking room”. Membaca buku budaya berfikir positif sambil nikmati kopi kaleng awetan pabrik.
”JT 020 silahkan masuk pesawat melalui pintu 15”. ”Uppss its time to go”. Ayo blue ransel, ini saat nya untuk berpetualang. Bromo menjadi tujuan ku kali ini. Setelah lama tak melakukan petualangan pada tanah-tanah dan kota-kota baru di kaki langit. Kurindu tanah basah, kurindu kabut pagi, kurindu dingin embun dan bintang-bintang malam. Uuuaaahhh senang nya.......
13.30 sampai di Surabaya. Langsung ku menuju Terminal Bungur untuk melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Perjalanan Surabaya-Probolinggo dapat di tempuh dalam waktu kurang lebih 2-3 jam dan Rp. 30.000 biaya dengan menggunakan bus patas antar kota. Perjalanan yang cukup jauh sehingga cocok untuk tidur sedikit melepas kantuk sisa semalam. Tidak lupa mengingatkan kondektur untuk berhenti di probolinggo.
Probolinggo adalah sebuah kota kecil 102 km di sebelah timur kota Surabaya, Ibu Kota Jawa Timur. Kota yang tenang, masyarakatnya hidup damai dan saling tenggang rasa. Bahasa yang mereka gunakan adalah campuran dari Madura dan Jawa berikut juga karakter sosial budayanya, ulet, tegas, terbuka dan lugas dalam mengekspresikan sesuatu. Sedangkan untuk sektor perekonomian andalan adalah pertanian seperti jagung, kol, tomat, mangga, kentang dan bawang. Hal tersebut karena didukung oleh potensi alam yang subur. Sektor lain yang menjadi andalan adalah sektor pariwisata dengan memanfaatkan salah satu diantara dua padang pasir yang dimiliki indonesia yaitu Pegunungan Bromo. Betapa tidak 14.810 orang wisatawan yang mengujungi Bromo pada Agustus 2009. Dapat dibayangkan jika rata-rata pengeluaran per orang adalah Rp 500.000 per kunjungan, berapa pendapatan langsung yang diterima oleh masyarakat sekitar???
Sesampainya di Probolinggo aku langsung menuju warung untuk membeli beberapa logistik untuk keperluan disana, sekalian bertanya-tanya informasi mengenai Bromo. Aku bertemu bapak Suhair. Beliau adalah salah satu pengatur angkutan ke Cemoro Lawang (Pintu masuk ke Taman Nasioanal Bromo Tengger Semeru). Wajahnya tulus dengan lipatan-lipatan raut yang usang dimakan usia dan pak Suhair menunjukan tempatnya di sebelah kanan luar Terminal Probolinggo. Beberapa jenis angkutan ke Cemoro Lawang sudah berjejer menunggu.
Sambil menunggu keberangkatan aku duduk membaca buku. 10 menit berlalu, 15 menit berlalu dan 20 menit berlalu. Aku pun mulai gelisah dan ternyata angkutan tersebut hanya akan jalan bila dalam kondisi penuh. Akhirnya akupun memutuskan untuk melanjutkan dengan menggunakan jasa ojek atas nasehat bapak suhair. Motor pun melaju melewati gelap dan kabut Probolingo.
1 jam di tempuh untuk mencapai desa terakhir (Cemoro Lawang). Berbukit, sawah dan beberapa perumahan yang jaraknya berjauhan. Sesampainya disana, aku menuju Hotel Cemara Indah atas rekomendasi si Tukang Ojek. Hotel murah meriah mulai dari harga Rp. 100.000 sampai-Rp. 500.000. Hotel yang lumayan cukup untuk seorang backpacker seperti aku.
Kunikmati makan malam dan dinginnya lereng pegununngan Bromo. Restoran terlihat sepi, hanya beberapa meja saja yang terisi dan lagi-lagi hanya turis asing yang ada disana. Kenapa orang asing lebih menyukai keindahan alam maupun kebudayaan indonesia, dibanding orang indonesia sendiri. Sedangkan orang Indonesia lebih bangga kalo mengunjungi Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong dan Sidney. Bukannya itu berarti kebocoran devisa???
Setelah makan malam dan sedikit bersosialisasi dengan rekan-rekan guide disana akupun bergegas masuk kamar. Tidur lebih awal karena besok pukul 03.30 WIB harus sudah bangun untuk memburu matahari terbit di Puncak Panajakan. Selamat malam dunia.
Pagi tanggal 4 November 2009, 03.30 WIB aku terbangun dari tidur. Dingin menyerang. Receptionist hotel mengingatkanku untuk lekas menuju ke Jeep. Disana sudah ada beberapa turis asing yang sudah menunggu. 1 pasang turis dari Italia dan 1 orang wanita dari Belgia serta menunggu 2 turis dari Norwegia. Setelah tidak lama kemudian 2 turis Norwegia itu datang dan masuk ke dalam jeep. Namun sebelum jeep itu berangkat 2 turis itu komplain karena jeep terlalu sempit. Dia berkata kepada supir jeep untuk mengembalikan uangnya. Percekcokan terjadi. Akupun hanya diam saja sambil khawatir takut telambat melihat sunrise. Sampai pada akhir percekcokan antara turis dan supir jeep harus mengorbankan 1 orang untuk keluar jeep dan orang itu adalah aku. Dasar sial aku harus ke Pananjakan dengan menggunakan ojek. Lagi-lagi ojek.
Ojeku pun memecah pagi. Motor bebek semi trail dengan Is pengendarannya mantafff. ”Gas terus Is......”. Pagi itu bromo masih berkabut dan gelap. Aku tak dapat melihat apapun kecuali merasakan dingin yang amat sangat. Melewati lembah dan jalanan berbukit. Sekilas tampak rombongan jeep turis menaiki bukit dan suaranya memecah keheningan.
Akhirnya sampai juga di puncak pananjakan. Puncak ini merupakan tempat terbaik untuk menikmati matahari terbit di Dataran Tinggi Bromo dengan foreground hamparan pasir, Gn Bromo dan Gn Batok serta Gn Semeru sebagai background. Walaupun sebagian langit masih gelap tetapi terlihat semburat merah di cakrawala timur, indah dan menggugah. Kabut Bromo pun masih belum rela meninggalkan dasar hamparan pasir. Sedangkan sinar mentari meyelinap menyusup datang dari sela-sela bukit. Persis seperti foto-foto karya maestro E. Bong yang pernah kulihat sebelumnya. Segala Puji Bagi Tuhan Semesta Alam telah menciptakan karya indah yang tak akan pernah tertandingi. Semoga selamatlah alam semesta.
Sesampainya disana ternyata sudah banyak turis yang menanti datangnya cahaya harapan. Berjejalan sampai-sampai sulit bagiku untuk menempati sudut terbaik dalam prespektif kamera. Tidak lama kemudian mentari itu datang. Merah nya menyinari turis dan sedikit menghangatkan wajah yang sedari tadi serasa membeku. Nikmat sudah terbayarkan. Lelah dan kocek yang harus dikeluarkan semua terbayar sudah.
Mentaripun mulai meninggi dan turis-turis berjejalan kembali ke Jeep masing-masing untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak Bromo. Namun aku masih tetap disini untuk beberapa saat. Menanti cahaya terbaik untuk kameraku. Mencari sudut terbaik atas penglihatanku. Juga menyediri dalam kesendirianku.
Is pun datang menghampiriku yang sedari tadi sedang asik dengan kamera. Ia menjemputku untuk melakukan perjalanan selanjutnya. Kini kami menuju puncak Gunung Bromo. Menuruni bukit melewati jalan yang tadi pagi kami naiki. Tenyata cukup indah perjalanan tadi pagi. Kanan dan kiri berbukit, jurang dan pepohonan yang mengering. Kami sesekali berhenti untuk mengambil gambar dan itu wajib hukumnya bagi aku.
Sang surya semakin meninggi. Membirukan langit dan menghangatkan jiwa. Tiba saatnya untuk melihat ada apa di atas sana (Puncak Gn. Bromo). Aku coba untuk menaiki kuda. ”Rebo” namanya. Kata si empunya nama tersebut diambil dari waktu ia membelinya, pada hari rabu. Rebo kuda yang gagah, ayo rebo bawa aku ke atas sana.
Naik kuda merupakan hal yang menarik. Apalagi bagi turis-turis asing. Hal tersebut dapat menambah pengalaman berwisata bagi turis-turis yang datang ke Bromo. Adapun alasanku kenapa menunggang kuda adalah bukan karena tidak kuat mendaki, namun lebih kepada pemerataan pendapatan. Apalagi yang di harapkan oleh para penjaja kuda di Bromo selain mendapatkan sedikit uang agar dapurnya dapat berasap atau bahkan untuk biaya sekolah anaknya. Apa salah nya hanya dengan uang Rp. 50.000 saja, namun kita dapat membantu atau membahagiakan teman-teman penawar jasa di lingkungan yang bergantung pada sektor pariwisata seperti Bromo ini.
Itulah yang sangat aku suka dari sektor ini dimana salah satu dampak yang dihasilkan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat sekitar yang dalam hal ini adalah pemerataan pendapatan. Coba perhatikan daerah asal wisatawan seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dll. Kota-kota tersebut merupakan kota besar dimana penduduknya lebih sejahtera dan memliki disposible income atau kelebihan pendapatan. Sehingga dengan DI mereka dapat melakukan perjalanan ke daerah tujuan wisata. DI tersebut berupa uang baru dan masuk ke suatu daerah (daerah tujuan wisata) serta dampaknya langsung kepada masayarakat. Sehingga kegiatan tersebut mendorong perputaran perekonomian di daerah tujuan wisata yang sering disebut-sebut sebagai efek ganda atau Multiplier Effect.
Aku menaiki ribuan anak tangga dan tibalah di puncak Gn. Bromo. Seperti puncak-puncak gunung kebanyakan. Dasar kawah tak nampak karena dipenuhi oleh asap belerang. Gunung Bromo merupakan salah satu gunung berapi di Indoensia yang memiliki ketinggian 2.392 mdpl. Konon katanya jaman dahulu kala Gn. Bromo adalah anak dari gunung yang bernama Tengger dengan ketinggian 4000 mpl. Kemudian terjadilah letusan besar dan berdampak pada terbentuknya kaldera dengan diameter kurang lebih 8 km. Kaldera tersebut terisi oleh air dan genangan air menyumbat lubang-lubang magma sehingga munculah Gn Bromo, Gn. Batok dll. Sedangkan genangan air kini mengering dan menjadi lautan pasir.
Setelah membuang sekikat bunga kedalam kawah sebagai penghormatan kepada pada dewa, aku melanjutkan perjalanan. Is mengajaku ke lautan pasir di bagian timur. Pasir yang luas dan jarang sakali terjamah. Tempat ini merupakan tempat yang pernah dijadikan lokasi syuting film Pasir Berbisik yang dibintangi oleh aktris cantik Dian Sastro.
Sarapan sudah menunggu di hotel. Nasi goreng telor ceplok ditemani kopi dan sebatang roko. Mantafff. Nikmat sudah perjalanaku kali ini. Meski terjadi beberapa masalah dalam perjalanan, namun aku masih yakin jikalau itulah yang terbaik untuk diriku. Seperti kasus jeep yang telah kuceritakan diatas. Ternyata untuk seorang fotografer sepertiku, ojek adalah pilihan yang tepat dan murah. Kita dapat berhenti dimanapun kita mau tanpa bergesekan dengan kepentingan turis yang lain.
Dan waktu begitu cepat sekali berlalu. Hingga ku harus meninggalkan ciptaan Tuhan yang maha dahsyat. Bromo. Ibu aku pulang setelah sekian hari meninggalkan rumah. Aku pulang ke barat.
Komentar
Posting Komentar